MATERI IPAS KELAS 6 BAB 2 TOPIK B: "MACAM-MACAM PERLAWANAN"


 


PERANG JAWA : "PERJUANGAN PANGERAN DIPONEGORO"


Perang Jawa, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830 sebagai perlawanan terhadap campur tangan Belanda dalam urusan Kesultanan Yogyakarta, penderitaan rakyat akibat pajak, dan ancaman terhadap nilai-nilai tradisional. Perang ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk pemasangan patok jalan kereta api di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro, dan berakhir setelah Pangeran Diponegoro tertangkap dalam sebuah perundingan yang penuh tipu daya di Magelang. 

Penyebab utama

Campur tangan Belanda: Belanda ikut campur dalam urusan internal kerajaan, memperkuat pengaruhnya saat istana sedang tidak stabil. 

Beban pajak: Rakyat mengalami penderitaan karena beban pajak yang berat dari Belanda. 

Ancaman terhadap nilai-nilai: Terjadi kecemasan di kalangan ulama karena pengaruh budaya Barat yang dianggap merusak nilai-nilai tradisional. 

Kekuasaan yang terbatas: Kekuasaan raja-raja Yogyakarta dibatasi oleh Belanda, yang menguasai daerah pantai utara Jawa. 

Pemicu langsung: Perang dimulai secara resmi pada 20 Juli 1825 setelah pasukan Belanda menyerbu Tegalrejo, lokasi Pangeran Diponegoro, dan juga karena pemasangan patok untuk jalan kereta api di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro. 

Jalannya perang

Strategi gerilya: Pangeran Diponegoro memimpin pasukannya dengan strategi gerilya yang menyebar hingga Jawa Timur.

Strategi Belanda: Belanda mengubah strategi dengan membangun benteng-benteng pertahanan sementara yang disebut sistem "benteng stelsel". 

Akhir perang

Penangkapan: Setelah pertempuran berlangsung lima tahun, Pangeran Diponegoro akhirnya ditangkap pada 28 Maret 1830, setelah terjebak dalam tipu daya Belanda saat berunding di Magelang. 

Dampak: Meskipun berakhir dengan kekalahan dan penangkapan Pangeran Diponegoro, perang ini menyebabkan kerugian besar bagi Belanda dan menegaskan kembali kekuasaan mereka atas Pulau Jawa. 


Latar Belakang

Perubahan hubungan keraton Jawa dengan Eropa

Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Prancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.[4]


Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II turun tahta secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Peristiwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Pada peristiwa ini Inggris menghancurkan sebagian bangunan keraton, menjarah barang-barang berharga dan perhiasan milik kesultanan, dan mengasingkan Hamengkubuwana II ke Pulau Pinang. Akibatnya, keraton mengalami kerugian yang besar dan terjadi perubahan hubungan antara Inggris dan keraton.[5]


Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Konvensi London (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814). Adik Hamengkubuwana II, Pangeran Natakusuma yang berjasa kepada Inggris menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman dengan gelar Paku Alam I. Mengingat usia Hamengkubuwana IV yang masih muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja oleh Raffles untuk menghormati jasa-jasanya dan menepati janji yang telah diberikan kepadanya.[6]


Era Daendels dan Raffles menjadi awal dari kejatuhan keraton-keraton di Jawa tengah bagian selatan. Meski keraton-keraton ini masih berdiri sampai sekarang, tetapi kekuatan dan kekuasaan yang sesungguhnya telah dilucuti pada 1812 oleh bangsa-bangsa Eropa sehingga mereka bukan lagi ancaman bagi pemerintah kolonial. Bentuk pemerintahan kolonial yang sentralistik bertentangan dengan filsafat Jawa yang membagi Jawa menjadi beberapa bagian. Jika sebelumnya bangsa-bangsa Eropa hanya menguasai Batavia dan pantai utara Jawa, maka kini mereka bisa berekspansi ke daerah-daerah di pedalaman Jawa yang secara tradisional adalah wilayah kekuasaan keraton-keraton Jawa. Peristiwa penyerahan diri Sultan Hamengkubuwana II kepada Raffles setelah peristiwa Geger Sepehi menunjukkan pemerintah kolonial kini memperlakukan diri mereka setara atau lebih tinggi dibanding penguasa Jawa dan tak segan ikut campur dalam urusan internal keraton. Jatuhnya Keraton Yogyakarta pada 1812 memunculkan suatu kombinasi elemen-elemen baru di masyarakat, seperti kaum santri dan kaum petani, yang nantinya bersatu saat Perang Diponegoro


SILAKAN SIMAK VIDEO DI BAWAH INI



Post a Comment for "MATERI IPAS KELAS 6 BAB 2 TOPIK B: "MACAM-MACAM PERLAWANAN""